Selasa, 20 September 2016

KESALAHAN DALAM MENERAPKAN PSAK 59 PADA
BANK SYARIAH
Oleh : Zakaria Batu Bara, MA




Dalam pasal 15 dari PSAK 59 itu disebutkan, untuk mencapai tujuannya, laporan disusun atas dasar akrual. Dengan dasar ini, pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian (dan bukan pada saat kas atau secara kas diterima atau dibayar) dan diungkapkan dalam catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode bersangkutan. Jadi konsekuensinya, seolah-olah ada pendapatan besar. Pada hal, bila dalam beberapa bulan kemudian pendapatan itu tidak jadi diterima, maka pendapatan itu justru akan dijadikan sebagai faktor pengurang.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bank syariah umumnya masih menerapkan sistem akrual khususnya untuk beban yang diungkapkan dalam laporan laba rugi, sedang untuk pendapatan harus dilakukan secara hati-hati tergantung dari opini dewan syariah setempat apakah menggunakan dasar kas atau akrual. Penggunaan dasar kas mengacu pada prinsip kehati-hatian yang berlandaskan ajaran Islam yang mengatakan bahwa “…tiada seorang pun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang diusahakannya esok hari…” (an-Nuur: 34) sehingga tidak seharusnya mengakui pendapatan sebelum nyata-nyata berbentuk aliran kas yang secara riil masuk ke bank.
Pada standar akuntansi bank syariah seperti untuk tagihan murabahah keuntungan diakui pada saat akad ditandatangani jika masa kredit tidak melewati satu periode laporan keuangan sedang bila masa kredit melewati satu periode laporan keuangan baik dalam bentuk lumpsum maupun instalment maka pengakuan pendapatan harus proporsional secara akrual kecuali dewan pengawas syariah menetapkan secara kas atau ketika angsuran/cicilan diterima.
Menurut A. Riawan Amin, Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia. Bank Muamalat akan mengalami kerugian apabila ia dipaksa untuk mengikuti PSAK 59, khususnya harus mencatat pengakuan pendapatan laporan keuangan dengan dasar akrual, mengapa? Karena akan sulit dilakukan pencatatan untuk pembiayaan mudharabah dan musyarakah mengingat pendapatan yang diperoleh tidak dapat dipastikan besarnya. Hal ini sama sekali tidak dapat disamakan dengan perbankan yang menggunakan sistem bunga yang telah ditetapkan secara pasti di depan sesuai dengan interest rate yang berlaku.
Konsekuensi berikutnya adalah pendapatan margin dan bagi hasil akan menjadi lebih besar dibandingkan dengan pendapatan sebenarnya, yang pada akhirnya akan memberikan performance neraca yang terkesan lebih baik, tetapi bukan figure yang sesungguhnya. Ini menjadikan tidak transparan dalam pelaporan. Akibatnya, akan timbul pertanyaan dari nasabah pemilik dana simpanan mudharabah, karena pendapatan dalam laporan keuangan sementara bagi hasil yang dibagikan lebih kecil.
Konsekuensi lain adalah bank syariah akan menanggung pajak yang sudah harus dibayarkan, sementara penerimaan tersebut belum pasti menjadi milik bank. Sementara itu, pembayaran zakat tidak bisa berdasar laba, tetapi harus dibuat terlebih dahulu laba berdasarkan cash basis, yang akan menimbulkan kerancuan bagi pihak lain calon mustahik.
Menurut Mukayan metode accrual basis diterapkan untuk pengakuan pendapatan atas aktiva produktif (AP) yang performing, yaitu AP yang mempunyai kualitas lancar dan dalam perhatian khusus. Sedangkan untuk AP non performing, yaitu AP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet diterapkan metode cash basis. Penerapan metode accrual basis dalam pengakuan pendapatan atas AP yang performing akan mengakibatkan timbulnya perbedaan jumlah pendapatan yang tercantum dalam financial reporting, dalam hal ini adalah Laporan Laba Rugi dengan pendapatan yang tercantum dalam Laporan Bagi Hasil (LBH). Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa dalam LBH yang dimaksud dengan pendapatan adalah pendapatan yang benar-benar secara cash telah diterima bank. Sedangkan pendapatan yang tercantum dalam Laporan Laba Rugi mencakup baik pendapatan secara cash telah diterima oleh bank, maupun pendapatan yang timbul karena adanya proses accrual.
Menurut penulis memaksakan PSAK 59 bagi bank syariah menambah kompleksitas bagi bank tersebut karena harus melakukan pembukuan ganda dalam pengakuan pendapatan, satu untuk pengakuan pendapatan dalam laporan keuangan dan satu lagi pendapatan untuk dasar perhitungan bagi hasil. Bank syariah juga harus membuat Pembukuan yang Akan Diterima (PAD) secara khusus. Dan tentu saja harus mengubah aplikasi komputernya berkaitan dengan pembiayaan dan pendapatan, dari transparan menjadi lebih tidak transparan.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa meskipun belum semua hal dapat terungkap tetapi sedikitnya memberikan gambaran bahwa perlu suatu paradigma baru dalam merancang aplikasi akuntansi untuk bank syariah sesuai dengan standar yang telah ada.
Standar akuntansi tersebut menjadi kunci sukses bank Islam dalam melayani masyarakat di sekitarnya sehingga, seperti lazimnya, harus dapat menyajikan informasi yang cukup, dapat dipercaya, dan relevan bagi para penggunanya, namun tetap dalam konteks syariah Islam. Penyajian informasi semacam itu penting bagi proses pembuatan keputusan ekonomi oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan bank Islam. Lebih dari itu, akan memiliki dampak positif terhadap distribusi sumber-sumber ekonorni untuk kepentingan masyarakat. Hal ini karena prinsip-prinsip syariah Islam memberikan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat.
Penulis adalah Dosen Akuntansi Syariah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Syariah Bengkalis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar